PEPALI KI AGENG SELA
Sri Wintala Achmad
Dilukiskan
para pujangga, desa Tarub serupa puingan surga yang terlempar dari langit. Sungai
mengalir serupa cermin. Pagi, benih ditebar; sore, buah dipetik. Hamparan sawah
yang dijaga ular sanca jelmaan Sri Sadana terberkati Dewi Sri. Ladang melimpahkan
hasil palawija, meski kemarau panjang.
Mengenang desa
Tarub, Selarasa yang tinggal bersama istrinya di Selabenter itu nekat pulang.
Melunasi rindu pada desanya. Melepas kangen
pada Getas Pandawa. Ayahnya yang membekali ilmu pengetahuan. Bekal hidup yang
tak teranggas zaman.
Selagi langit
timur menyemburat jingga, Selarasa duduk di gubug tepi desa. Menyaksikan
hamparan sawah dan ladang. “Betapa beda Tarub dan Selabenter. Selabenter hanya tanah
berbatu yang tandus.”
Sewaktu menikmati
suasana desa Tarub, Selarasa terseret ke alam lamunan. Tak sadar, Getas Pandawa
telah berdiri di depan gubug.
“Pulanglah,
Sela! Sarapan dulu! Biyung-mu telah
memasak kesukaanmu. Sega liwet, jangan
lodheh, sambel trasi.”
Selarasa
tersentak dari lamunan. “Maaf, Rama.
Tadi, Rama bilang apa?”
“Dasar! Orang
tua bicara tak didengar.” Getas Pandawa duduk di amben gubug. “Apa yang sedang mengganggu
pikiranmu?”
“Satu masalah,
Rama.”
“Masalah rumah
tanggamu hingga kau kembali ke Tarub?”
“Bukan, Rama. Perkara kecemburuan. Tarub kian subur.
Selabenter kian tandus.”
“Oh, soal itu?
Aku pikir soal rumah tanggamu.” Getas Pandawa tertawa renyah. “Perkara
perbedaan Tarub dan Selabenter, jangan kau lihat yang tampak! Lihatlah di balik
yang tampak! Bukankah sering wingka katon
kencana. Kencana katon wingka?”
“Ananda tak
paham apa yang Rama katakan.”
“Sela….” Getas
Pandawa sejenak terdiam. “Apakah suburnya tanah Tarub itu berkah? Apakah tandusnya
tanah Selabenter itu kutukan? Belum tentu. Untuk bisa menjawabnya, kau harus
menempuh tiga laku; eling, waspada, tapa!”
“Ananda makin
tak paham, Rama?” Selarasa
menepuk-nepuk kepalanya yang serasa bebal. “Betapa senang bila Rama mengajarkan
pengetahuan itu pada Ananda.”
“Pahamilah, Sela! Eling maknanya hendaklah kau selalu ingat pada Ilahi yang
memberikanmu petunjuk. Berkat petunjuk-Nya, kau akan waspada hingga dapat menangkap kesejatian. Sesudah itu, tapa! Maknanya, kau harus berkarya dan
bekerja untuk diri, keluarga, bangsa, dan negara! Dengan cara itu, kau akan
diridai Ilahi untuk mengubah Selabenter yang tandus menjadi subur.”
Selarasa
beranjak dari amben gubug. Meninggalkan Getas Pandawa. Bukan pulang ke rumah
ayahnya, tapi ke Selabenter. Sepanjang jalan, hasratnya untuk menghijaukan desa
itu berkobar-kobar.
***
Tak mengenal
lelah, Selarasa menggarap ladang tandus. Namun sejak Getas Pandawa meninggal
hingga pernikahan Enis putranya, Selabentar belum menjadi berkah. Kebutuhan
pangan orang-orang di desanya masih didatangkan dari Tarub.
Sesudah Enis dan
istrinya tinggal di Banglampir, Selarasa yang mulai dikenal Ki Ageng Sela itu berjuang
sendiri. Lambat laun, ia putus asa untuk menghidupkan tanah Selabenter. Setiap
musim hujan, hanya gerimis yang membasahi ladang. Hasil tanaman yang dirawat
dari pagi hingga sore tak sebanding kucuran peluhnya.
Ketika putus
asa kian memuncak, Ki Ageng Sela berziarah ke makam Getas Pandawa. Antara jaga
dan tidur, ia mendengar bisikan yang dibawa semilir angin. “Jangan putus asa dalam
perjuangan! Datangnya berkah tak terpisah hak, waktu, dan tempat. Pulanglah!
Berkah sudah menunggu di rumah.”
Ambang matahari
terbit di ufuk timur, Ki Ageng Sela meninggalkan makam. Sesampai rumah, ia mendengar
tangisan bayi di dapur. Betapa terkejut ketika ia melihat istrinya yang sedang memasak
sambil menggendong bayi. “Ini anak siapa, Nyi?”
“Coba tebak, Ki?”
Ki Ageng Sela mengamati
wajah bayi itu. Sontak ia teringat wajah Enis. “Apakah bayi ini, cucu kita?”
“Pertanyaan Ki
Ageng sudah mengandung jawaban. Sesudah Ki Ageng pergi berziarah di makam Rama, Enis datang. Karena mimpinya kalau
bayi yang dikasih pusaka nama Pemanahan ini kelak jadi jalma pinunjul, Enis menitipkannya pada kita. Harapan Enis, agar Ki
Ageng memberikan pepali pada Pemanahan.”
Mendengar
penuturan istrinya, Ki Ageng Sela teringat bisikan gaib di makam Getas Pandawa.
Ia meyakini, berkah yang menunggunya di rumah tak lain bayi itu. Bersama
lengkingan tangis bayi itu, hujan tumpah dari langit. Hujan yang menandai berkah
dilimpahkan di bumi Selabenter.
***
Hari berganti
minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun berganti windu.
Bersama waktu yang mengalir, Pemanahan tumbuh menjadi anak remaja. Suka
bekerja. Menuntut ilmu pengetahuan.
Betapa bangga,
Ki Ageng Sela pada Pemanahan. Kepada cucunya, ia menyampaikan pepalinya sebelum
tidur. Ia pula selalu membawa cucunya ke ladang yang mulai menghijau di musim
hujan. Mereka menggarap ladang. Menanaminya dengan aneka palawija; jagung,
kacang hijau, singkong, ubi, gembili, wortel, dan labu.
Tengah hari, hujan turun sangat lebat.
Ketika para petani pulang ke rumah, Ki Ageng Sela masih mencangkul di ladang
dengan tubuh basah kuyup. Pemanahan yang takut petir berteduh di gubug.
Selagi hujan masih menyisakan rintik gerimis,
Pemanahan menyaksikan petir menghunjam Ki Ageng Sela. Ia meninggalkan gubug
untuk menolong kakeknya yang sedang dalam bahaya. Ketika melihat kakeknya tetap
tegar berdiri, ia kembali ke gubug.
Pemanahan merasa terlempar ke dunia
aneh. Sesudah petir itu meledak, ia melihat lelaki tua. Pada Ki Ageng Sela, lelaki
tua itu melarang untuk mencangkul di sawah. Kakeknya menolak hingga berujung
perselisihan.
Mengkhawatirkan keselamatan Ki Ageng
Sela, Pemanahan meninggalkan gubug. Sesudah memasuki desa, ia meminta orang-orang
untuk membantu kakeknya yang berselisih dengan lelaki tua itu.
Bersama orang-orang, Pemanahan kembali
ke ladang. Ia iba pada lelaki tua yang tampak lunglai di bawah sinar matahari
seusai hujan reda.
“Kalau kau iba, carilah air bersih!”
pinta Ki Ageng Sela. “Ia kehausan.”
Pemanahan pulang. Di dapur, ia mengambil
se-siwur air dari genthong. Sekembali di ladang, ia
menyerahkan air itu pada kekeknya.
“Segeralah kalian semua menjauh dari
tempat ini!”
“Memangnya kenapa, Eyang?” tanya Pemanahan. “Kenapa kami
harus menjauh?”
“Ikuti saja
perintahku!”
Pemanahan dan orang-orang
meninggalkan tempat itu. Mereka berkumpul di tepi desa. Saat Ki Ageng Sela
menyiramkan air ke tubuh lelaki tua, mereka menyaksikan kilat yang disertai
ledakan. Mereka terbengong sesudah lelaki itu lenyap dari pandangan.
Rasa penasaran
Pemanahan dan orang-orang tak terbendung. Tanpa khawatir dimarahi Ki Ageng
Sela, mereka berlari menuju tempat peristiwa. Terheran-heran mereka saat menyaksikan
timbulnya sumur akibat hunjaman petir yang semula berwujud lelaki tua itu.
Mereka tak percaya kalau dari dasar sumur memancarkan mata air yang jernih.
Mereka bergerak mundur ketika sumur itu meluas menjadi embung.
Menyaksikan
datangnya berkah, Ki Ageng Sela berpesan pada Pemanahan dan orang-orang itu. “Dari
peristiwa tadi, hendaklah kalian pahami pepaliku! Grama sirna mring toya. Karenanya, jadilah air bagi api! Dengan
kasih, kalian bisa menjadikan lawan sebagai kawan untuk mewujudkan cita-cita. Berkat
se-siwur air yang aku siramkan pada
lelaki petir itu, terjadilah embung. Berkah yang akan menyuburkan tanah
Selabenter.”
Pemanahan dan orang-orang
yang menyimak pepali Ki Ageng Sela itu serupa murid di depan guru. Seorang yang
digugu dan ditiru. Dilaksanakan petuahnya yang baik. Diteladani perbuatannya
yang mulia. Tak menyimpang dari ajaran para leluhur.
***
Sejak
memakmurkan Selabenter, nama Ki Ageng Sela dikenal luas. Tak heran bila ia
menjadi tujuan Karebet, Juru Mrentani, dan Penjawi untuk berguru.
Tengah malam, Ki
Ageng Sela memasuki bilik Pemanahan. “Bila kau belum kantuk, masuklah ke senthong! Aku ingin menyampaikan pepaliku
yang terakhir.”
Menangkap
gelagat aneh Ki Ageng Sela, Pemanahan bergegas memasuki senthong. Bersila dengan setengah tertunduk di hadapan kakeknya. “Pepali
apa yang ingin Eyang sampaikan pada cucumu ini? Sampaikanlah, Eyang!”
“Dari petunjuk
Ilahi yang aku terima lewat samadi, kelak anak-turunmu menjadi raja-raja di
tanah Jawa. Tapi, ingat! Menjadi
orang yang dimuliakan Tuhan, hendaklah kau jauhi laku lima ha; haja
dumeh, hadigang, hadigung, hadiguna, hadiwicara! Maknanya, janganlah kau
suka sok-sokan, menyombongkan kesaktian, kekuasaan, kekayaan, dan kemampuanmu
dalam berbicara! Sebaliknya….”
“Apa, Eyang?”
“Andhap
asor, tepa selira, wedia kuwalat! Maknanya, hendaklah kau tetap rendah
hati, memiliki tenggang rasa, dan takut celaka akibat perbuatan burukmu!”
Suasana di dalam senthong senyap. Ki Ageng Sela terdiam. Pemanahan kian khusyuk
menyimak wejangan kakeknya.
“Ketahuilah, Pemanahan!” Ki Ageng Sela
memecah suasana senyap. “Hendaklah kau selalu berhati-hati, agar dapat
mengentarai sesuatu yang semu! Janganlah memertuhankan harta-benda! Itu bahaya.
Tetaplah waspada pada segala sesuatu di dunia! Waspadalah pula pada diri
sendiri, agar hidupmu selamat…!”
Pepali Ki Ageng Sela pada Pemanahan terputus.
Sekian lama tak mendengar pepali Ki
Ageng Sela, Pemanahan mengangkat wajahnya. Semula ia menyangka bila kakeknya
yang terpejam matanya dengan bibir menyunggingkan senyum itu tertidur. Sesudah
memegang pergelangan tangan kakeknya tak berdenyut, ia berteriak. “Eyang! Kenapa Eyang cepat meninggalkanku?”
***
Pagi hari.
Langit berawan serupa payung hitam. Sekelabu wajah Nyi Ageng Sela, Pemanahan,
Ki Ageng Enis, Mas Karebet, Juru Mrentani, Penjawi, keluarga, dan orang-orang
Selabenter. Dengan doa seharum asap dupa dan bunga tabur, mereka mengantarkan
jenazah Ki Ageng Sela menuju makam.
Usai upacara
pemakaman Ki Ageng Sela, hujan lebat turun dari langit. Para pelayat yang
berteduh di cungkup-cungkup itu heran saat mencium air hujan seharum kesturi.
Mereka bertanya-tanya sesudah guntur membahana di angkasa, “Siapakah lelaki berjubah
sutra yang bersimpuh di samping makam Ki Ageng Sela?”
Hujan reda. Lelaki berjubah sutra itu lenyap bersama cahaya putih yang memancar dari makam Ki Ageng Sela. Membawa pengalaman aneh yang tak pernah terungkap misterinya, para pelayat itu pulang ke rumah masing-masing.
Catatan:
^ Kangen:
Rindu
^ Biyung: Ibu
^ Sega liwet,
jangan lodheh, sambel trasi: Nasi liwet, sayur lodeh, sambal terasi
^ Wingka katon kencana. Kencana katon wingka: Pecahan
genting senampak lempengan emas. Lempengan emas senampak pecahan genting
^ Rama: Ayah (Bapak)
^ Jalma pinunjul: Manusia yang
memiliki kelebihan (manusia unggul)
^ Eyang: Kakek
^ Siwur: Gayung yang terbuat
dari tempurung dengan gagang terbuat dari bambu
^ Genthong: Tempayan yang
terbuat dari tanah liat
^ Senthong: Salah satu ruang
pada rumah Jawa yang digunakan untuk sembahyang atau meditasi

Komentar
Posting Komentar