Langsung ke konten utama

SENI-BUDAYA | NILAI EDUKATIF DALAM LELAGON KARYA PARA SUNAN



DALAM menangkap nilai-nilai kearifan orang Jawa melalui lelagon, kita perlu memahami lambang-lambang yang disematkan pada syairnya. Tanpa mengetahuinya, kita tidak akan mampu mendedah nilai-nilai kearifan itu sendiri. Bahkan lelagon itu sendiri merefleksikan kearifan orang Jawa di dalam menyampaikan pesan dengan cara ketimuran. Lembut dan bijaksana. Beberapa contoh lelagon Jawa yang mengandung ajaran-ajaran kearifan tersebut, antara lain: Tamba Ati karya Sunan Bonang, Padhang Bulan karya Sunan Giri, dan Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga.

Tamba Ati

Tamba Ati adalah karya Sunan Bonang (Syekh Maulana Makhdum Ibrahim) yang merupakan putra Sunan Ampel (Sayyid Ali Rahmatullah) dengan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila). Syair dari lelagon Tamba Ati yang mengandung ajaran kearifan dan masih sering terdengar di telinga kita sampai sekarang terbaca sebagai berikut:

Tamba ati iku lima perkarane, kaping pisan maca Qur’an samaknane, kaping pindho sholat wengi lakonana, kaping telu wong kang soleh kumpulana, kaping papat kudu weteng ingkang luwe, kaping lima dzikir wengi ingkang suwe, salah sawijine sapa isa anglakoni,mugi-mugi Gusti Allah Ngijabahi.

[Obat hati itu ada lima perkara, pertama membaca Qur’an dan memahami maknanya, ke dua melakukan sholat malam, ke tiga berkumpul dengan orang soleh, ke empat harus melakukan puasa, ke lima dzikir malam yang lama, salah seorang yang bisa melaksanakan itu semua, maka Allah akan berkenan mengabulkannya].

Dari tembang Tamba Ati yang cenderung bernuansa religi, kita akan dapat mencerap nilai-nilai kearifan yang dapat memberikan obat bagi hati. Berpijak pada syair di muka, maka manusia yang ingin mendapatkan obat bagi hati harus melaksanakan 5 (lima) perkara, antara lain:

1. Membaca Al-Qur’an harus disertai dengan pemahaman akan maknanya. Sesudah dipahami, maka manusia harus pula mengamalkan ajaran-ajaran yang tersurat atau tersirat di dalam kitab itu.

2. Melaksanakan sholat malam. Kenapa harus sholat malam? Karena sholat malam yang dilaksanakan sesudah bangun tidur itu terasa lebih khusyuk. Dengan kekhusyukan hati, maka permohonan mansuia pada Tuhan akan berpeluang besar untuk dikabulkannya.

3. Bisa diibaratkan bahwa manusia sholeh itu seperti sendang dengan air jernih. Dengan kejernihan hatinya, maka manusia sholeh akan senantiasa memancarkan kedamaian pada orang lain. Karena itu, bila Anda ingin menjadi manusia sholeh dengan hati yang jernih, berkumpullah pada orang sholeh. Niscaya manusia akan menjadi sholeh pula.

4. Bila manusia ingin terbebas dari penyakit hati, maka hendaklah melaksanakan puasa baik wajib maupun sunah. Hanya dengan melakukan puasa yang selalu disertai dengan pengendalian hawa nafsu (amarah, mutmainah, aluamah, dan amarah); maka manusia akan mendapatkan kebahagiaan sejati.

5. Ibarat tetes-tetes air pada batu karang, maka dzikir yang diucapkan dengan lama dan dihayati dengan hati akan mampu menghancurkan tembok karang yang menutup hati dai cahaya Ilahi.

 Padhang Bulan

Lelagon Padhang Bulan merupakan karya Sunan Giri, salah satu sunan yang tergabung dalam lembaga Walisanga. Syair Padhang Bulan yang hanya terdiri dari lima kalimat dalam satu bait tersebut terbaca sebagai berikut:

Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, dolanane na ing latar, ngalap berkah gilar-gilar, nundhung begog hangethikar.

[Malam terang bulan, lekaslah untuk bermain, bermain di halaman, menikmati sinarnya yang benderang, mengusir gelap hingga lari terbirit-birit].

Melalui tembang Padhang Bulan yang diciptakan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik di muka, kita dapat memetik ajaran kearifan di dalamnya. Di mana setiap manusia yang dapat mensyukuri atas karunia kegembiraan hati dari Tuhan, niscaya hidupnya akan mampu mengusir kedukaan. Suatu kegelapan yang bersemayam dalam hati. Dengan terusirnya kedukaan, manusia tidak hanya mendapatkan kebahagiaan yang terefleksikan pada wajah dan terutama sinar mata, namun pula akan mendapatkan kesehatan raganya.

Ilir-Ilir

Ilir-ilir merupakan lelagon gubahan Sunan Kalijaga. Lelagon yang sarat ungkapan-ungkapan simbolik ini memberikan ajaran kearifan tentang tugas dan kewajiban manusia selama masih bernapas di permukaan bumi. Lelagon ilir-ilir yang akan bernuansa magis jika ditembangkan itu tertulis sebagai berikut:

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus ngalilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar. Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna, kanggo masuh dodotira. Dodotira, dodotira, kumitir bedhah ing pinggir, domana, jlumatana, kanggo seba mengko sore. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane, ayo surakm, surak iyo.

[Bangun, bangunlah, tanaman sudah mengembang, betapa hijau dan subur, seperti pengantin baru. Anak gembala, anak gembala, panjat dan petikkan belimbing itu, sekalipun licin, panjatlah pohon itu, untuk membasuh sabukmu. Sabukmu, sabukmu, berumbai-umbai robek di tepi, jahitlah, sulamlah, untuk menghadap nanti sore. Selagi besar rembulannya, selagi luas jangkauannya, mari bersorak, bersorak mari].

Dari lelagon ilir-ilir tersebut, kita dapat menangkap tentang ajaran-ajaran kearifan yang tersirat di dalamnya. Perihal ajaran-ajaran kearifan yang ingin disampaikan oleh Sunan Kalijaga, antara lain:

1. Selagi berusia muda, hendaklah manusia selalu melaksanakan ajaran agama (Islam). Agar dapat melaksanakan agama dengan benar, maka manusia harus melaksanakan rukun Islam, yakni: membaca sahadat, melakukan sholat, melakukan puasa, membayar zakat, dan naik haji bila kuasa.

2. Bila telah mampu melaksanakan rukun Islam dengan baik, maka manusia akan dapat membasuh segala dosa yang menodai jiwanya.

3. Hanya dengan jiwa yang telah terbebas dari dosa, manusia akan diperkenankan menghadap Tuhan sesudah tiba masa kematiannya. Selain itu, manusia diperkenankan untuk singgah di alam kebagiaan abadi yang bernama surge. (Sri Wintala Achmad, pemerhati seni budaya Jawa).

 Catatan:

Naskah ini dikutip dari buku Esklopedia Kearifan Jawa, karya Sri Wintala Achmad, penerbit Araska Publisher Yogyakarta.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT | SERIAL WILWATIKTA | PLETHEKE SURYA WILWATIKTA #1

MENDHUNG angendanu ing langit Gelanggelang. Hawa kang panas rinasa manggang sarandhune badane para kawula sadhuwure geni pancala. Engga wong-wong kang adus riwe wus krasa manggon sajrone naraka jahanam. Saka esuk tumekeng sore, wong-wong kang ora adus karana sumber-sumber kasatan banyu ing mangsa ketiga dawa iku mung donga, “Gusti, mugi Paduka paring jawah…!” Gludhug gemleger ing angkasa. Bareng angin gedhe saka kulon kang nyapu mendhung, udan sumuntak ing bantala. Wong-wong kang jejingkrakan batine karana rasa suka iku sanalika metu ing latar. Kejaba wong-wong tuwa, nom-noman lan bocah-bocah adus banyu udan. Ora pantara suwe, sarandhune badane wong-wong kuwi rinasa siniram banyu sewindu lawase. Saka sore tumekeng wengi, wong-wong kang ngrasake awake seger wis turu kepati. Nanging, ana sawiine titahe Gusti kang ora bisa turu. Sapa ta dheke? Tan liya Adipati Jayakatwang. Panguwasa Gelanggelang kang dadi andhahan utawa besane Prabu Kertanagara, raja gung Singasari.   “Wanci sam...

TRADISI SURAN DI MATA MASYARAKAT JAWA

Sangat memrihatinkan dengan banyaknya tradisi Jawa yang terkikis oleh arus bah modernisasi. Sebagai misal tradisi jagongan kelahiran seorang bayi yang diwarnai dengan gelar macapatan, tradisi resepsi pernikahan Jawa, tradisi ruwatan untuk anak sukerta yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang kulit, tradisi wiwitan sebelum petik padi, atau tradisi gejok lesung sewaktu terjadi gerhana bulan sudah semakin sulit untuk disaksikan di lingkungan masyarakat Jawa sendiri. Banyaknya tradisi Jawa yang terkikis karena semakin menguatnya pengaruh modernisasi tersebut tidak dapat lepas dari sikap masyarakat Jawa sendiri. Sikap yang sangat permisif terhadap budaya modern tanpa berupaya memertahankan budayanya. Akibatnya banyak orang muda yang tidak mengenal budaya tradisi tersebut kemudian mengklaimnya sebagai budaya kuna dan sudah ketinggalan zaman. Sebaliknya mereka lebih menggandrungi budaya modern (baca: budaya barat) yang hanya dapat disentuh sebatas kulitnya saja. Realitas banyaknya tradi...