Langsung ke konten utama

TRADISI SURAN DI MATA MASYARAKAT JAWA


Sangat memrihatinkan dengan banyaknya tradisi Jawa yang terkikis oleh arus bah modernisasi. Sebagai misal tradisi jagongan kelahiran seorang bayi yang diwarnai dengan gelar macapatan, tradisi resepsi pernikahan Jawa, tradisi ruwatan untuk anak sukerta yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang kulit, tradisi wiwitan sebelum petik padi, atau tradisi gejok lesung sewaktu terjadi gerhana bulan sudah semakin sulit untuk disaksikan di lingkungan masyarakat Jawa sendiri.

Banyaknya tradisi Jawa yang terkikis karena semakin menguatnya pengaruh modernisasi tersebut tidak dapat lepas dari sikap masyarakat Jawa sendiri. Sikap yang sangat permisif terhadap budaya modern tanpa berupaya memertahankan budayanya. Akibatnya banyak orang muda yang tidak mengenal budaya tradisi tersebut kemudian mengklaimnya sebagai budaya kuna dan sudah ketinggalan zaman. Sebaliknya mereka lebih menggandrungi budaya modern (baca: budaya barat) yang hanya dapat disentuh sebatas kulitnya saja.

Realitas banyaknya tradisi Jawa yang mati di lingkungannya sendiri sungguh ironis. Sekalipun demikian, terdapat beberapa tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa. 

Beberapa tradisi Jawa yang masih dilestarikan tersebut, antara lain: Labuhan baik di Laut Selatan maupun di Gunung Merapi, Sedekah Laut atau Sedekah Bumi (Merti Desa), Nyadran di bulan Ruwah, Padusan sebelum pelaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dan Sungkeman di hari raya 'Idul Fitri. Di samping itu, terdapat tradisi Jawa yang masih dilaksanakan oleh masyarakatnya, yakni: Tirakatan Malem Suran (Prihatin di Malam 1 Sura). Suatu tradisi yang dilakukan setiap malam pergantian tahun Jawa atau Hijriyah.

Malem Suran

Siang menjelang malam 1 Sura, banyak orang Jawa telah bersiap melakukan tradisi Malem Suran. Tidak heran bila tempat-tempat ziarah mulai didatangi para pengunjung baik dari dalam maupun luar kota sejak sore hari. Jumlah pengunjung akan semakin membludak menjelang tengah malam. Sementara bagi orang Jawa yang tidak sempat mengunjungi salah satu tempat ziarah cukup melakukan lek-lekan (berjaga waktu malam) bersama keluarga atau tetangga di halaman rumah atau berjalan keliling kampung.

Lain di Cilacap lain di Yogyakarta. Di Cilacap, tempat-tempat seperti Teluk Penyu dan Gunung Srandil akan menjadi sasaran orang-orang yang akan merayakan Malem Suran dengan tirakatan. Sementara, beberapa tempat di Yogyakarya yang menjadi tujuan orang-orang untuk merayakan Malem Suran, yakni: Sendang Kasihan, Pantai Parangkusuma, Makam Panembahan Senapati, Makam Sewu, Alun-Alun Lor dan Kidul Keraton Yogyakarta, dll.

Bila menilik suasana Malem Suran di berbagai tempat di muka sangat berbeda jauh dengan suasana Malam Tahun Baru Masehi yang cenderung ekspresif dan diwarnai pesta-pora, petasan, kembang api, dan bising suara terompet. Sementara suasana Malem Suran lebih bernuansa impresif, khidmat, dan khusyuk. 

Karena banyak orang pada malam itu melakukan tirakatan (prihatin) baik melalui lek-lekan, lampah madya ratri (berjalan tengah malam), maupun tapa bisu (megendalikan nafsu untuk tidak bicara). Adapun laku prihatin yang mereka lakukan ditujukan untuk mendapatkan anugerah Tuhan atau sekadar melakukan refleksi atas perjalanan hidupnya di masa silam. Suatu laku untuk dapat menapaki hidup yang lebih baik di masa mendatang.

Mubeng Beteng

Terdapat satu tradisi Jawa di Yogyakarta yang sampai saat ini masih mewarnai pada setiap Malem Suran, yakni tradisi Mubeng Beteng. Tradisi berjalan dengan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta yang bermula dan berakhir di depan pintu gerbang (Alun Alun Lor). Pelaksanaan tradisi ini dimulai pada waktu tengah malam. Karenanya tradisi Mubeng Beteng sering dikenal dengan Lampah Madya Ratri. Berjalan mengelilingi benteng pada waktu tengah malam.

Selama melakukan tradisi Mubeng Beteng, seluruh peserta akan berjalan dengan khidmat dan sekaligus melakukan tapa bisuyakni tidak berbicara antara satu dengan lainnya. Karena seluruh panca inderanya diusahakan untuk dikunci, agar indera keenamnya terfokus pada Tuhan. Dalam keheningan di balik gemuruh langkah ribuan pasang kaki itulah, seluruh peserta berusaha melakukan pendekatan diri pada Tuhan. Sang Pencipta Alam dan Seisinya.

Sesudah pelaksanaan Mubeng Beteng berakhir, seluruh peserta melakukan doa bersama sebagaimana dilakukan sebelum dimulainya upacara itu. Dari doa-doa yang mereka lafalkan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Mubeng Beteng bukan sekadar melestarikan tradisi tersebut, namun lebih sebagai laku spiritual yang diharapkan dapat memberikan dinamika hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Sehingga kehidupan akan menjadi tenteram dan sejahtera. Jauh dari segala bencana.

Berkembang dan punahnya tradisi Jawa adalah tergantung pada masyarakat Jawa itu sendiri. Sebagaimana tradisi Jawa lainnya, tradisi Malem Suran (Mubeng Beteng) pun akan mengalami sekarat jika tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait. 

Karena itu, peran seorang sesepuh (orang yang dituakan) untuk selalu menyampaikan nilai-nilai positif yang terkandung di dalam tradisi Malem Suran pada generasi muda. Mengingat para pendidik dari dunia akademis formal tidak pernah menyentuh pada persoalan tersebut.

Di samping itu, peran dari beberapa Komunitas Spiritual Jawa yang masih peduli dengan upacara tradisi Mubeng Beteng di Malem Suran tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Dikarenakan tradisi tersebut memberikan kesadaran spiritual pada manusia untuk selalu eling lan waspada (ingat dan waspada). Ingat pada Tuhan yang selalu memberikan rahmat. Waspada atas segala cobaan di zaman yang semakin gila.

Apabila berbagai pihak terkait telah melakukan perannya dengan baik, maka tradisi Malem Suran dan tradisi-tradisi lainnya yang masih hidup akan dapat dipertahankan secara turun-temurun. 

Mengingat generasi berikutnya yang memahami tentang tingginya nilai-nilai di balik tradisi tersebut senantiasa berusaha memertahankan secara optimal. Di sinilah, kunci untuk melestarikan tradisi di lingkup masyarakat Jawa sendiri. [Sri Wintala Achmad]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT | SERIAL WILWATIKTA | PLETHEKE SURYA WILWATIKTA #1

MENDHUNG angendanu ing langit Gelanggelang. Hawa kang panas rinasa manggang sarandhune badane para kawula sadhuwure geni pancala. Engga wong-wong kang adus riwe wus krasa manggon sajrone naraka jahanam. Saka esuk tumekeng sore, wong-wong kang ora adus karana sumber-sumber kasatan banyu ing mangsa ketiga dawa iku mung donga, “Gusti, mugi Paduka paring jawah…!” Gludhug gemleger ing angkasa. Bareng angin gedhe saka kulon kang nyapu mendhung, udan sumuntak ing bantala. Wong-wong kang jejingkrakan batine karana rasa suka iku sanalika metu ing latar. Kejaba wong-wong tuwa, nom-noman lan bocah-bocah adus banyu udan. Ora pantara suwe, sarandhune badane wong-wong kuwi rinasa siniram banyu sewindu lawase. Saka sore tumekeng wengi, wong-wong kang ngrasake awake seger wis turu kepati. Nanging, ana sawiine titahe Gusti kang ora bisa turu. Sapa ta dheke? Tan liya Adipati Jayakatwang. Panguwasa Gelanggelang kang dadi andhahan utawa besane Prabu Kertanagara, raja gung Singasari.   “Wanci sam...

SENI-BUDAYA | NILAI EDUKATIF DALAM LELAGON KARYA PARA SUNAN

DALAM menangkap nilai-nilai kearifan orang Jawa melalui lelagon, kita perlu memahami lambang-lambang yang disematkan pada syairnya. Tanpa mengetahuinya, kita tidak akan mampu mendedah nilai-nilai kearifan itu sendiri. Bahkan lelagon itu sendiri merefleksikan kearifan orang Jawa di dalam menyampaikan pesan dengan cara ketimuran. Lembut dan bijaksana. Beberapa contoh lelagon Jawa yang mengandung ajaran-ajaran kearifan tersebut, antara lain: Tamba Ati karya Sunan Bonang, Padhang Bulan karya Sunan Giri, dan Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga. Tamba Ati Tamba Ati adalah karya Sunan Bonang (Syekh Maulana Makhdum Ibrahim) yang merupakan putra Sunan Ampel (Sayyid Ali Rahmatullah) dengan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila). Syair dari lelagon Tamba Ati yang mengandung ajaran kearifan dan masih sering terdengar di telinga kita sampai sekarang terbaca sebagai berikut: Tamba ati iku lima perkarane, kaping pisan maca Qur’an samaknane, kaping pindho sholat wengi lakonana, kaping telu wong kang sol...