Langsung ke konten utama

PASUJARAHAN | MENGUAK KISAH BONDAN KEJAWAN

 


DIKISAHKAN dari Negeri Kudus. Ki Gede Kudus memiliki tiga putra dari dua istri. Kedua putranya telah menikah. Sementara putranya yang bungsu belum bersedia menikah. Ki Gede Kudus terus mendesak agar si bungsu segera menikah. Karena didesak terus-menerus, putra bungsu Ki Gede Kudus itu meninggalkan rumahnya secara diam-diam. Menaik-turuni bukit. Menyeberangi sungai demi sungai. Keluar masuk hutan belantara. Hingga berakhir tinggal di Gunung Kendeng.

***

Di lain tempat. Tepatnya di Desa Kembanglampir. Ki Ageng Kembanglampir memiliki seorang anak gadis yang telah menginjak dewasa. Suatu hari anak gadis Ki Ageng Kembanglampir itu mandi  di sendang. Tanpa direncana, Ki Jaka (putra Ki Gedhe Kudus) melihat anak gadis itu. Singkat cerita, cinta pada pandangan pertama dari kedua insan muda itu saling bertautan. Hingga terjalinlah asmara yang tidak dapat dikendalikan. Melihat anak gadisnya hamil, Ki Ageng Kembanglampir berang bukan kepalang. Maka diusirlah anak gadisnya itu ke dalam hutan.

Lahirlah jabang bayi dari rahim anak gadis Ki Ageng Kembanglampir. Namun sewaktu bayi itu terlahir, sang ibu meninggal dunia (mati kunduran). Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang pencari burung dengan tulup yang bernama Ki Ageng Selandaka. Bayi itu dibawa oleh Ki Ageng Selandaka. Diletakkan di bawah pohon giyanti. Oleh Nyi Randa Wulanjar dari Desa Tarub, bayi yang berada di bawah pohon giyanti itu ditemukan. Dibawa pulang ke rumahnya.

Lambat-laun, bayi yang diberi nama Jaka Tarub itu menjadi dewasa. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan oleh Jaka Tarub, selain berburu burung di hutan dengan senjata tulupnya. Seharian penuh, Jaka Tarub di dalam hutan. Pagi, berangkat dari rumah. Senja hari, pulang ke rumah.

Suatu hari, Jaka Tarub melihat seekor burung yang sangat indah dan belum pernah disaksikan sebelumnya. Namun saat akan ditulup, burung itu terbang. Karena ketertarikannya dengan burung itu, Jaka Tarub mengejarnya hingga tiba di sendang. Tempat pemandian para bidadari dari kahyangan.

Tidak seberapa lama, Jaka Tarub mendengar suara gemuruh dari langit. Jaka Tarub terkagum-kagum, manakala menyaksikan para bidadari turun ke tepian sendang itu. Jaka Tarub menelan ludah. Jakunnya turun-naik, manakala bidadari-bidadari itu. Turun ke sendang. Mandi dan bersendau gurau.

Selagi bidadari-bidadari itu tengah bersenda-gurau, Jaka Tarub berjalan merayap menuju tepian sendang. Mengambil pakaian dari salah satu bidadari itu. Membawa pakaian itu pulang dan menyimpannya di dalam lumbung. Sesudah mengambil pakaian pengganti, Jaka Tarub kembali ke sendang. Manakala Jaka Tarub berdehem dari balik pohon besar; bidadari-bidadari yang mendengarnya segera naik dari sendang, mengambil pakaian dan mengenakannya. Mereka kembali terbang ke angkasa. Tinggallah bidadari Nawangwulan yang tidak menemukan pakaiannya itu masih berendam telanjang di sendang.

Menyaksikan keayurupawanan bidadari Nawangwulan, Jaka Tarub jatuh cinta dan ingin menikahinya. Nawangwulan bersedia dinikahi Jaka Tarub, asalkan memberikan pakaian penutup aurat. Jaka Tarub memberikan pakaian itu. Nawangwulan menerima dan mengenakannya.

Sudah menjadi takdir, Jaka Tarub dan Nawangwulan menjadi suami-istri. Nyi Randa Wulanjar bersuka-cita. Tidak lama kemudian, Nawangwulan mengandung benih dari Jaka Tarub. Sembilan bulan sepuluh hari, Nawangwulan melahirkan seorang bayi perempuan. Oleh Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub), bayi yang berparas jelita itu diberi pusaka nama Nawangsih.

Suatu hari, Nawangwulan akan pergi ke sungai untuk membasuh popok bayi Nawangsih. Sebelum meninggalkan rumah, Nawangwulan berpesan pada Ki Ageng Tarub agar tidak membuka tutup periuk nasi yang tengah ditanaknya. Namun, pesan Nawangwulan itu dilanggar oleh Ki Gede Tarub.

Sejak Ki Gede Tarub melanggar pesan Nawangwulan, keluarganya selalu menanak nasi sebagaimana orang pada umumnya. Hingga perlahan-lahan, padi di dalam lumbung terkuras habis. Pada saat itulah, Nawangwulan yang telah menemukan pakaiannya pulang ke kahyangan. Meninggalkan Ki Gedhe Tarub dan bayi Nawangsih.

***

Di tempat lain, yakni di Majapahit. Bondan Kejawan kecil yang bermain sampai ke gedhong gangsa Kraton Majapahit itu bermain gamelan. Mendengar suara gaduh dari dalam gedhong gangsa, Prabu Brawijaya berjalan ke sumber suara. Melihat seorang anak kecil yang tengah bermain gamelan.

Sesudah mendapatkan laporan dari seorang prajurit, bahwa si pemain gamelan adalah putra Ki Buyut Masahar, maka dipanggillah orang itu. Oleh Prabu Brawijaya, Bondan Kejawan diminta dari Ki Buyut Masahar untuk diungut sebagai sebagi anak angkat. Dengan senang hati, Ki Buyut menyerahkan Bondan Kejawan pada sang raja.

Beberapa hari kemudian, Brawijaya memerintahkan pada Ki Buyut Masahar agar membawa Bondan Kejawan berguru pada Ki Gede Tarub. Sesudah Bondan Kejawan menerima dua keris dari Brawijauya yang bernama Kyai Maesanular dan Kyai Malela, Ki Buyut Masahar membawa anak itu menuju Desa Tarub. Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh dua orang begal. Berkat kesaktian keris Kyai Maesanular, kedua begal itu tewas di tangan Bondan Kejawan dengan dada dan lambung memuntahkan darah segar.

Di Desa Tarub, Bondan Kejawan dan Ki Buyut Masahar disambut dengan baik oleh Ki Gede Tarub. Sesudah menyerahkan Bondan Kejawan pada Ki Gede Tarub sebagaimana yang dipesankan oleh Brawijaya, Ki Buyut Masahar pulang ke rumahnya. Sementara Bondan Kejawan tetap tinggal di Desa Tarub sebagai siswa Ki Gede Tarub. Selain itu, Bondan Kejawan diangkat sebagai putra.

***

Witing trisna jalaran saka kulina. Demikian ungkapan orang Jawa yang bermaknakan bahwa cinta itu tumbuh karena sering (biasa) bertemu, bertegur sapa, bercerita, bepergian, atau bekerja bersama.

Cinta karena kebiasaan itu telah dialami oleh Lembu Peteng (Bondan Kejawan) dengan Nawangsih. Karena sering bepergian dan bekerja di sawah bersama-sama atau sering berkumpul di dalam rumah, maka cinta itu bersemi hingga mekar di taman hati mereka.

Menyaksikan hubungan cinta antara Lembu Peteng dan Nawangsih yang semakin lama semakin bersemi, maka Ki Gede Tarub menikahkan keduanya. Sesudah Lembu Peteng dan Nawangsih menikah, Ki Gede Tarub meninggal dunia. Sepeninggal Ki Gede Tarub, Nawangsih mengandung benih dari Lembu Peteng. Anak pertama yang lahir adalah laki-laki dan diberi nama Getas Pandawa. Anak kedua yang lahir adalah perempuan. Kelak anak itu menikah dengan Ki Ageng Ngerang.

Dikisahkan di dalam Babad Tanah Jawa, Getas Pandawa memiliki 7 orang putra yakni satu laki-laki dan enam perempuan. Mereka antara lain: Ki Ageng Sela, Nyai Gede Pakis, Nyai Gede Purna, Nyai Gede Kare, Nyai Gede Wanglu, Nyai Gede Bokong, dan Nyai Gede Ngadibaya. (Sri Wintala Achmad, penulis buku sejarah, cerita rakyat, filsafat, dan budaya Jawa).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA RAKYAT | SERIAL WILWATIKTA | PLETHEKE SURYA WILWATIKTA #1

MENDHUNG angendanu ing langit Gelanggelang. Hawa kang panas rinasa manggang sarandhune badane para kawula sadhuwure geni pancala. Engga wong-wong kang adus riwe wus krasa manggon sajrone naraka jahanam. Saka esuk tumekeng sore, wong-wong kang ora adus karana sumber-sumber kasatan banyu ing mangsa ketiga dawa iku mung donga, “Gusti, mugi Paduka paring jawah…!” Gludhug gemleger ing angkasa. Bareng angin gedhe saka kulon kang nyapu mendhung, udan sumuntak ing bantala. Wong-wong kang jejingkrakan batine karana rasa suka iku sanalika metu ing latar. Kejaba wong-wong tuwa, nom-noman lan bocah-bocah adus banyu udan. Ora pantara suwe, sarandhune badane wong-wong kuwi rinasa siniram banyu sewindu lawase. Saka sore tumekeng wengi, wong-wong kang ngrasake awake seger wis turu kepati. Nanging, ana sawiine titahe Gusti kang ora bisa turu. Sapa ta dheke? Tan liya Adipati Jayakatwang. Panguwasa Gelanggelang kang dadi andhahan utawa besane Prabu Kertanagara, raja gung Singasari.   “Wanci sam...

SENI-BUDAYA | NILAI EDUKATIF DALAM LELAGON KARYA PARA SUNAN

DALAM menangkap nilai-nilai kearifan orang Jawa melalui lelagon, kita perlu memahami lambang-lambang yang disematkan pada syairnya. Tanpa mengetahuinya, kita tidak akan mampu mendedah nilai-nilai kearifan itu sendiri. Bahkan lelagon itu sendiri merefleksikan kearifan orang Jawa di dalam menyampaikan pesan dengan cara ketimuran. Lembut dan bijaksana. Beberapa contoh lelagon Jawa yang mengandung ajaran-ajaran kearifan tersebut, antara lain: Tamba Ati karya Sunan Bonang, Padhang Bulan karya Sunan Giri, dan Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga. Tamba Ati Tamba Ati adalah karya Sunan Bonang (Syekh Maulana Makhdum Ibrahim) yang merupakan putra Sunan Ampel (Sayyid Ali Rahmatullah) dengan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila). Syair dari lelagon Tamba Ati yang mengandung ajaran kearifan dan masih sering terdengar di telinga kita sampai sekarang terbaca sebagai berikut: Tamba ati iku lima perkarane, kaping pisan maca Qur’an samaknane, kaping pindho sholat wengi lakonana, kaping telu wong kang sol...

TRADISI SURAN DI MATA MASYARAKAT JAWA

Sangat memrihatinkan dengan banyaknya tradisi Jawa yang terkikis oleh arus bah modernisasi. Sebagai misal tradisi jagongan kelahiran seorang bayi yang diwarnai dengan gelar macapatan, tradisi resepsi pernikahan Jawa, tradisi ruwatan untuk anak sukerta yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang kulit, tradisi wiwitan sebelum petik padi, atau tradisi gejok lesung sewaktu terjadi gerhana bulan sudah semakin sulit untuk disaksikan di lingkungan masyarakat Jawa sendiri. Banyaknya tradisi Jawa yang terkikis karena semakin menguatnya pengaruh modernisasi tersebut tidak dapat lepas dari sikap masyarakat Jawa sendiri. Sikap yang sangat permisif terhadap budaya modern tanpa berupaya memertahankan budayanya. Akibatnya banyak orang muda yang tidak mengenal budaya tradisi tersebut kemudian mengklaimnya sebagai budaya kuna dan sudah ketinggalan zaman. Sebaliknya mereka lebih menggandrungi budaya modern (baca: budaya barat) yang hanya dapat disentuh sebatas kulitnya saja. Realitas banyaknya tradi...